Contoh Asuhan Keperawatan Fraktur Atau Patah Tulang Lengakap

Contoh Asuhan Keperawatan Fraktur Atau Patah Tulang Lengakap


1. PENGKAJIAN
A.Pengumpulan Data
1.Anamnesa
a.Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b.Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
1.Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
2.Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3.Region : radiation, relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4.Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5.Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

c.Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

d.Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).

e.Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f.Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g.Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1.Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak (Ignatavicius, Donna D,1995).
2.Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3.Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991).
4.Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
5.Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6.Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap  (Ignatavicius, Donna D, 1995).
7.Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
8.Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
9.Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10.Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10.Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).

2.Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a.Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1.Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
•Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
•Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
•Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
2.Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a.Sistem Integumen : terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
b.Kepala : tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c.Leher  : tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
d.Muka : wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi, simetris, tidak oedema.
e.Mata : tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan).
f.Telinga : tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, tidak ada lesi atau nyeri tekan.
g.Hidung : tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h.Mulut dan Faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i.Thoraks : tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j.Paru
•Inspeksi : pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
•Palpasi : pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
•Perkusi : suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
•Auskultasi : suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k.Jantung
•Inspeksi : tidak tampak iktus jantung.
•Palpasi : nadi meningkat, iktus tidak teraba.
•Auskultasi : suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l.Abdomen
•Inspeksi : bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
•Auskultasi  : peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
•Palpasi : tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
•Perkusi : suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
m.Inguinal-Genetalia-Anus : tidak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b.Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah :

1.Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain :
a.Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
b.Cape au lait spot (birth mark).
c.Fistulae.
d.Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e.Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa  (abnormal).
f.Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas).
g.Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa).

2.Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a.Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
b.Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
c.Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3.Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

3.Pemeriksaan Diagnostik
a.Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a.Bayangan jaringan lunak.
b.Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
c.Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti :
a.Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b.Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c.Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d.Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b.Pemeriksaan Laboratorium
a.Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b.Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c.Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c.Pemeriksaan lain-lain
1.Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2.Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3.Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4.Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5.Indium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6.MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang muncul pada fraktur biasanya :
1.Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang edema, cedara pada jaringan tulang lunak, alat traksi atau immobilisasi, stress, ansietas.
2.Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuro muskukler : nyeri/ketidak nyamanan, terapi rekritif (imobilisasi tungkai)
3.Kerusakan integritas kulit (actual/resiko) berhubungan dengan cedara tusuk; fraktur terbuka; bedah perbaikan; pemasangan traksi, kawat, sekrup, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi eksudasi/secret dan imobilisasi fisik.
4.Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajang/.mengigat, salah interpretasi informasi.
5.Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekutnya ketahanan primer : kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif trauma tulang.
6.Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilang integritas tulang (fraktur)
7.Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler berhubungan dengan penurunan/iterupsi aliran darah; cedara vaskuler langsung, udema paru  berlebihan, pembentukan thrombus, hipovilemia.
3. INTERVENSI

a.Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang edema, cedera pada jaringan lunak, alat traksi / imobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan :
Klien mengungkapkan rasa nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria evaluasi :
Menunjukkan tindakan santai; mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/ istirahat dengan tepat
Menyatakan nyeri hilang

Intervensi :
•Mempertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,pembebat, traksi.
•Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
•Lakukan dan awasi latihan rentan gerak pasif / aktif
•Berikan alternative tindakan kenyamanan, contoh pijatan-pijatan punggung,     perubahan posisi.
Rasional :
•Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang / tegangan, jaringan yang cedera.
•Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema dan menurunkan nyeri.
•Mempertahankan kekuatan atau mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
•Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan local dan kelelahan otot.
b.Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler: Nyeri/ ketidaknyamanan, terapi restriktif (imobilisasi tungkai).
Tujuan :
Klien akan mempertahankan mobilisasi pada tingkat yang lebh tinggi.
Kriteria evaluasi :
Menyatakan ketidaknyamanan hilang
Menunjukkan perilaku /tehnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
Menunjukkan penggunaan keteramplan relaksasi dan aktivitas
terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

Intervensi :
•Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/rekreasi. Pertahankan rangsangan lingkungan contohnya : radio, tv, koran, barang milik pribadi/ lukisan, kalender, jam, kunjungan keluarga/teman.
•Intruksikan pasien untuk/bantu dalam rentang gerak pasif/aktif pada ekstremitas yang sakit dan yang tak sakit.
•Dorong kegunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tak sakit.
•Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan (contoh mandi, mencukur).

Rasional :
•Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol diri/harga diri dan membantu menurunkan isolasi sosial.
•Meningkatkan aliran darah keotot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi; mencega kontraktur/atrofi, dan resorpsi kalsium karena tidak digunakan.
•Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan dan masa otot. Catatan : latihan ini dikontraindikasikan pada perdarahan akut/edema.
•Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan meningkatkatkan kesehatan diri langsung.
c. Resiko terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur)
Tujuan :
Klien dapat mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur
Kriteria evaluasi :
Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur
Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur.
Menunjukkan pembentukan kalus/mulai penyatuan fraktur dengan tepat. 

Intervensi :
•Mempertahankan tirah baring/ ekstremitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi diatas dan dibawah fraktur bila bergerak atau membalik.
•Sokong fraktur dengan bantal/ gulungan selimut.  Pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal pasir pembebat, gulungan trokanter papan kaki.
•Kaji integritas alat piksasi eksternal
Rasional  :
•Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi atau penyembuhan.
•Mencegah gerakan yang tidak perlu dan perubahan posisi yang tepat dari bantal juga dapat mencegah tekanan deformitas pada gips yang kering.
•Traksi hoffman  memberikan stabilisasi dan sokongan fraktur tanpa menggunakan katrol, tali atau beban, memungkinkan mobilitas/ kenyamanan pasien lebih besar dan memudahkan perawatan luka. Kurang atau berlebihannya keketatan klem/keketatan dapat mengubah tekanan kerangka, menyebabkan kesalahan posisi.
d.Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya ketahanan primer: Kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur invasif traksi tulang.
Tujuan :
Klien akan mempertahankan kondisi tulang yang fraktur dan jaringan lunak yang adekuat.
Kriteria evaluasi :
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema, dan demam.
Intervensi :
•Kaji tanda-tanda infeksi seperti panas, kemerahan, nyeri dan lain-lain.
•Perawatan luka dengan tehnik septik
•Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
Rasional :
•Dapat mengidentifikasi timbulnya infeksi lokal/nekrosis jaringan, yang dapat menimbulkan osteomielitis.
•Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi
•Antibiotk dapat digunakan secara profilaktik atau dapat ditujukan pada mikroorganisme khusus.
4.    PELAKSANAAN
5.    EVALUASI
Advertisement
Contoh Asuhan Keperawatan Fraktur Atau Patah Tulang Lengakap | Keperawatan | 5

0 comments:

Posting Komentar